Reforma agraria dan kedaulatan pangan telah menjadi tuntutan utama para buruh di Indonesia sejak lama. Namun, masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus dilakukan untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Tuntutan tersebut kembali disuarakan para buruh dalam peringatan Hari Buruh Internasional, Senin (1/5/2023).
Sejatinya, reforma agraria dan kedaulatan pangan di Indonesia juga telah digaungkan selama era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi).
Sebagai informasi, reforma agraria adalah proses perubahan kebijakan agraria yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi antara petani dan pemilik tanah, serta meningkatkan akses masyarakat terhadap lahan dan sumber daya alam.
Untuk mencapai kedaulatan pangan, perlu dilakukan reformasi agraria yang holistik dan disesuaikan dengan kondisi setempat, sehingga semua orang dapat mengakses sumber-sumber produktif, terutama tanah.
Karena itu, ketimpangan agraria dinilai perlu segera dibenahi.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (2013), terdapat sekitar 14,25 juta rumah tangga petani gurem atau sekitar 55,35 persen dari total rumah tangga pertanian yang menggunakan lahan. Rata-rata, mereka hanya memiliki kepemilikan lahan seluas 0,89 hektar.
Era SBY
Di era SBY, program reforma agraria dijalankan dengan membentuk Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan menyelesaikan sengketa tanah di seluruh Indonesia. Namun, program tersebut dianggap belum cukup memenuhi tuntutan buruh dan aktivis agraria, terutama dalam hal pengakuan hak atas tanah bagi petani dan masyarakat adat.
Menurut penelitian Barid Hardiyanto dalam buku Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono (2021), ditemukan perbedaan pandangan antara aktor dalam memahami reforma agraria.
Masyarakat melihatnya sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup, sedangkan pihak swasta dan negara hanya melaksanakannya sebagai tugas atau untuk kepentingan politik.
Para petani telah berusaha berpartisipasi dalam perumusan kebijakan dan implementasi reforma agraria, tetapi dihambat oleh birokrasi dan tidak diakomodasi. Perumusan kebijakan dan implementasi reforma agraria justru berdampak buruk bagi petani.
Penelitian Barid menegaskan, terdapat ketidaksesuaian antara kebijakan teknokrasi pemerintah dengan kepentingan rakyat, yang mengakibatkan reduksi pengertian reforma agraria menjadi sekadar pembagian tanah saja, tanpa perbedaan dengan konsep land reform pada masa lalu.
Faktor ini terjadi karena lingkungan politik yang makin dangkal, dipengaruhi oleh pandangan politik populis pada saat itu.
Konflik agraria juga muncul selama pemerintahan SBY.
Pada 2013, di tahun terakhir jelang berakhirnya periode kedua era SBY, misalnya, menurut Laporan Akhir Tahun 2013 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdapat 369 konflik agraria dengan luasan mencapai 1.281.660 hektar (Ha) dan melibatkan 139.874 kepala keluarga (KK).
KPA dalam catatan 2013 menyimpulkan, pelaksanaan agenda reforma agraria atau pembaruan agraria, yang dibawa ke dalam agenda nasional pada 2007, di bawah kekuasaan SBY direduksi menjadi sekadar “pendaftaran tanah dan sertifikasi untuk tanah-tanah yang sesungguhnya sudah dimiliki dan digarap warga, tetapi belum didokumentasikan.”
“Praktis, agenda reforma agraria tidak pernah dijalankan selama pemerintahan SBY berkuasa,” demikian mengutip laporan KPA.
Problem yang muncul dalam agenda reforma agraria di era SBY kembali terjadi di era Jokowi, terutama soal perbedaan pengertian reforma agraria antara aktivis, swasta, dan pemerintah.
Era Jokowi
Di era Jokowi, pemerintah berusaha mempercepat program reforma agraria melalui pemberian hak atas tanah bagi petani dan masyarakat adat.
Namun, upaya tersebut dihadapkan pada berbagai tantangan, seperti sengketa tanah yang kompleks dan resistensi dari kelompok-kelompok kepentingan.
Selama pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla pada periode 2014-2019, mereka berjanji untuk melaksanakan program Reforma Agraria yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Janji tersebut termasuk dalam visi-misi mereka yang disebut sebagai Nawacita.
Namun, selama empat tahun masa pemerintahan tersebut, pelaksanaan Reforma Agraria dianggap belum memuaskan karena masih rendah dalam realisasinya.
Menurut catatan KPA pada 2018, pada awalnya, Bappenas menerjemahkan visi Nawacita yang terkait dengan Reforma Agraria ke dalam praktik redistribusi dan legalisasi tanah dengan luasan total 9 juta hektar, yang terdiri dari 4,5 juta hektar untuk masing-masing Kementerian ATR/BPN-RI dan KLHK.
Namun, hal ini tidak sesuai dengan harapan masyarakat dan membuat kedua kementerian tersebut memiliki rencana Reforma Agraria yang berbeda.
Dalam upaya pelaksanaan Reforma Agraria, pemerintah menggunakan Undang-Undang Kehutanan untuk menetapkan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan menerapkan aturan pertanahan yang diatur oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Hanya saja, kebijakan ini hanya diterapkan di sebagian kecil wilayah TORA di luar kawasan hutan, yaitu hanya 400 ribu hektar dari total 9 juta hektar. Oleh karena itu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN-RI) lebih fokus pada legalisasi tanah melalui program Pendaftran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Selain itu, kebijakan agraria kerakyatan lainnya adalah redistribusi tanah seluas 4,5 juta hektar. Namun, kebijakan ini dinilai hanya dijalankan setengah hati dan belum diimplementasikan secara tuntas selama empat tahun pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Meskipun ada upaya seperti sertifikasi tanah berbiaya murah dan izin perhutanan sosial, tetapi realisasi Reforma Agraria dari bawah dan partisipatif tidak direspons dan diurus dengan memadai oleh Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kendati kembali menjadi visi utama Jokowi pada periode kedua, bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin, reforma agraria yang belum maksimal, masih dibarengi konflik agraria.
Selama tahun 2022, KPA mencatat, pemerintah di pusat dan daerah belum melakukan perubahan yang signifikan dan mendasar dalam menangani dan menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di lapangan.
KPA mencatat terjadi sedikitnya 212 letusan konflik agraria di sektor investasi dan bisnis berbasis korporasi selama tahun 2022. Konflik tersebut terjadi di 459 desa dan kota di Indonesia, dengan total tanah yang terlibat mencapai lebih dari 1 juta hektar atau tepatnya 1.035.613 hektar. Dampak dari konflik agraria ini dirasakan oleh setidaknya 346.402 kepala keluarga (KK).
Riset Alvian dan Mujiburohman (2022) juga berkesimpulan, reforma agraria yang dilakukan di era Jokowi baru sebatas legalisasi aset dan redistribusi tanah.
Kedua periset tersebut menyebut, masih ada ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah yang belum teratasi serta masih banyak sengketa pertanahan yang belum terselesaikan.
Hal ini disebabkan oleh beberapa masalah seperti kepemimpinan yang lemah, lembaga yang tidak efektif, peraturan yang tidak memadai, dan keterbatasan objek redistribusi tanah.
Mimpi Kedaulatan Pangan ala SBY dan Jokowi
Kedaulatan pangan di Indonesia juga menjadi isu penting dalam konteks reforma agraria. Kedaulatan pangan dapat dicapai dengan mengurangi ketergantungan pada impor pangan dan memperkuat produksi pangan lokal.
Namun, hal ini masih sulit dicapai di Indonesia, terutama karena banyaknya lahan pertanian yang masih dimiliki oleh pemilik-pemilik besar dan perusahaan-perusahaan besar.
Pada era SBY, program ketahanan pangan diimplementasikan dengan mengintegrasikan sektor pertanian, perikanan, dan peternakan dalam pembangunan nasional. Salah satu program andalan pada masa itu adalah Program Kedaulatan Pangan, yang bertujuan untuk mencapai kemandirian pangan nasional dengan mengoptimalkan penggunaan sumber daya alam dan manusia.
Program ini melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat, serta didukung oleh peningkatan infrastruktur pertanian dan teknologi. Namun, pada masa SBY juga terdapat beberapa kelemahan dalam upaya mencapai kedaulatan pangan. Pemerintah saat itu cenderung lebih memprioritaskan ekspor komoditas pertanian daripada memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.
Hal ini terlihat dari peningkatan ekspor beberapa komoditas pertanian seperti sawit dan karet, namun tidak diikuti dengan peningkatan produksi pangan dalam negeri.
Sementara itu, di era Jokowi, upaya pencapaian kedaulatan pangan terus dilakukan dengan mengimplementasikan beberapa program prioritas.
Salah satunya adalah program percepatan pembangunan infrastruktur pertanian, yang meliputi peningkatan aksesibilitas pasar, bantuan pupuk dan bibit, dan pemanfaatan teknologi.
Selain itu, program pangan nasional juga diluncurkan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas pertanian, serta mengurangi ketimpangan akses terhadap pangan. Namun, upaya Jokowi dalam mencapai kedaulatan pangan juga masih dihadapkan pada beberapa tantangan. Salah satunya adalah ketergantungan pada impor bahan pangan yang masih tinggi.
Hal ini disebabkan oleh kurangnya investasi dalam sektor pertanian dan kurangnya dukungan teknologi dan infrastruktur, yang menyebabkan produktivitas pertanian masih rendah.
Belum lagi, seperti disinggung di atas, agenda reforma agraria yang belum maksimal dan konflik agraria yang bermunculan di sana menambah daftar pekerjaan rumah pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan pangan.